Hukum Islam di Indonesia dan Kekuatan Hukumnya

Hukum Islam di Indonesia dan Kekuatan Hukumnya - Secara garis besar Hukum Islam terbagi kepada, pertama, Fiqh ibadat meliputi aturan tentang Shalat, puasa, haji, nazar, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Ketentuan hukum ibadat ini , semula diatur secara global (Mujmal) dalam al-qur’an, kemudian dijelaskan oleh sunnah Rasul- berupa ucapan ,perbuatan atau penetapannya- dan di formulasikan oleh fuqaha ‘ (ahli hukum) kedalam kitab-kitab fiqih. Pada prinsipnyan dalam masalah ibadat, kaum muslimin menerimanya ta’abbudy, artinya diterima dan dilaksanakan dengan sepeuh hati , tanpa terlebih dahulu merasionalisasikannya. Hal ini karena arti ibadah sendiri adalah menghambakan diri kepada Allah. Zat yang berhak di sembah . dan manusia tidak memeliki untuk menagkap secar pasti alasan (illat) dan hikmah apa yang terdapat didalam perintah ibadat tersebut. ini berbeda dengan fiqih muamalah, seperti yang akan di jelaskan kemudian , pertimbangan rasio lebih menonjol.

Kedua fiqih muamalat mengatur hubungan antara manusia denagn semuanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik ecara perorangan maupun kemasyarakatan. Fiqih muamalat ini sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing.

Pengertian Hukum Islam

Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al- islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-qur’an maupun al-sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak dijumapai. Yang digunakan adalah kata syariat yang dalam penjabarnnya. Kemudian lahir istilah Fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian syariah dan fiqh.

Kata syari’ah dan derivasinya di gunakan lima kali dalam al-qur’an yakni (surat al-syura, 42:13, 21. al-A’raf, 7:163, al-Maidah, 5:48, dan al-Jasiyah, 45:18)

Secara harfiah syari’ah artinya jalan ke tem[at mata air, atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-qur’an di artikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Usul al-fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim,balig,dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,pilihan,atau perantara (sebab, syarat,atau penghalang). Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis(‘amaliyah).

Pada mulanya kata syari’at meliputi semua aspek ajaran agama, yakni akidah,syari’ah (hukum) dan akhlak. Ini terlihat pada syari’at setiap agama yang diturunkan sebelum Islam. Karena bgi setiap ummat, Allah memberikan syari’at dan jalan yang terang.(al-maidah,5:48) Namun karena agama-agama yang diturunkan sebelum Muhammad SAW. Inti akidahnya adalah tauhid (mengesakan Tuhan), dapat dipahami bahwa cakupan syari’ah ,adalah amaliyah sebagai konsekuensi dari akidah yang diimani setiap ummat. Kendatipun demikian, ketika kita menggunakan kata syari’at , maka pemahaman kita tertuju kepada semua aspek ajaran Islam.

Mahmud syaltut dalam bukunya al- islam ‘aqidah wa syari’ah mendefinisikan syari’ah adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, denagn sesamannya, dengan lingkungannya, dan dengan kehidupan. Sebagai penjabaran dari akidah, syari’ah tidak bisa terlepas dari akidah. Keduannya memeliki hubungan ketergantungan. Akidah tanpa syari’ah tidak menjadikan pelakunnya muslim,demikian juga syari’ah tanpa akidah akan sesat.

Syari’at Islam , diturunkan secar bertahap dalam dua periode Mekkah dan Madinah. Keseluruhannya memakan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sehubungan dengan ini muncul istilah teknis tasyri’(legislasi atau pengundangan). Istilah ini dikemudian hari menjadi salah satu perbendaharaan istilah penting dalam kajian fiqh (hukum Islam). Jadi syari’at adalah produk atau materi hukumnya, tasyri adalah pengundangnya, dan yang memproduksi di sebut syari” (Allah).

Adapun kata Fiqh yang dalam al-qur’an digunakan dalam bentuk kerja(fi’il) disebut sebanyak 20 kali. Penggunaannya dalam al-qur’an berarti memahami. Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran, kami silih berganti , agar mereka memahaminya . (al- An’am, 6 :65). Secara etimologis, fiqh artinya paham. Namun berbeda dengan ‘ilm yang artinya mengerti. Ilmu bisa diperoleh secara nalar atau wahyu, fiqh menekankan pada penalaran, meski penggunaannya nanti ia terikat kepad wahyu. Dalam pengertian terminologis ,fiqh adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.Contohnya, hukum wajib shalat, diambil dari perintah Allah dalam ayat aqimu al-shalat (dirikanlah shalat). Karena dalam al-qur’an tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan shalat, maka dijelaskan melalui sabda Nabi SAW: ”Kejakanlah shalat, sebagaimana kalian melihat aku menjalankannya”. (sallu kama raaitumuni usalli). Dari praktek Nabi inilah, sahabat-sahabat, tabi’in, dan fuqaha’ merumuskan tata aturan shalat yang benar dengan segala syarat dan rukunnya.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa antara syari’ah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fiqh adalah formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai , dan di formulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil uasaha memahami , sangat di pengaruhi oleh tuntunan ruang dan waktu yang melingkupi faqih (jamak Fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian, terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka. Kristalisasinya kemudian dicatat oleh sejarah, terdapat Fiqh Sunny(berpaham ahl al-sunnah wa al-jamaah) dan fiqh syi’I (berpaham Syi’ah, yang mengaku pengikut Ali ibn Abi Tholib). Dikalangan Sunny sendiri, dikenal Fiqh Hanafy, Fiqh Maliky, Fiqh Syafii,Fiqh Hanbaly, dan Fiqh Auza’iy. Yang terakhir kurang populer di Indonesia.

Kendatipun demikian terdapat perbedaan karakteristik antara syari’ah dan fiqh, yang apabila tidak dipahami secar proporsional, dapat menimbulkan kerancuan yang bukan tidak mungkin akan melahirkan sikap salah kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syari’ah. Agar jelas duduk soalnya, berikut akan dikemukakan perbedaan-perbedaan tersebut. pertama, syari’ah diturunkan oleh Allah (al-syari) , jadi kebenarannya bersifat mutlak (absolut), sementara fiqh adalah formula hasil kajian fuqaha, dan kebenarannya bersifat Relatif (nisbi). Karena syariah adalah wahyu sementara fiqh adalah penalaran Manusia. Kedua , syari’ah adalah satu(unity) dan Fiqh beragam (diversity). Ketiga , syari’ah bersifat otoritatif, maka fiqh berwatak liberal. Keempat , syari’ah stabil atau tidak berubah, fiqh mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu. Kelima , syari’ah bersifat idealistis, fiqh bercorak realistis.

Pemahaman terhadap perbedaan substansi syari’ah dan fiqh ini. Setidaknya menjadikan seseorang dapat arif dan bijaksana menyikapi fiqh. Dengan kata lain, perbedaan pendapat dan pengamalan fiqh adalah sesuatu yang lumrah dan tidak perlu di pertentangkan. Dan pada gilirannya , di antara para pengikut ulama mazhab, akan saling toleran untuk mengerti formula fiqh dari ulama yang diikutinya . fiqh sebagai hasil istinbath (upaya mengeluarkan hukum dari nash) atau ijtihad fuqaha’ yang manusia biasa , meski telah di yakini kebenarannya, tidaklah tertutup kemungkinan terjadi kesalahan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini , apabila terjadi kesalahan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini , apabila terjadi kesalahan tidak berakibat dikenakan sanksi hukum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: Iza’ ajtihada al-hakim fa asaba falahu ajran wa iza ijtahada fa akhta’a fa lahu ajr wahid (apabila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala). Amir Syarifuddin merinci cakupan pengertian fiqh yaitu :

- Bahwa fiqh itu adalah ilmu tentang syara.

- Bahwa yang dibicarakan fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah

- Bahwa pengetahuan tentang hukum syara itu didasarkan kepada dalitafsili (rinci)

- Bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan Istidlal (penggunaan dalil) si mujtahid dan Faqih.

Dengan demikian ,memperhatikan watak dan sifat fiqh adalah hasil jerih payah fuqaha, ia dapat saja menerima perubahan atau pembaharuan , karena tuntutan ruang dan waktu.

Seperti penulis kemukakan, bahwa hukum islam adalah terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau al-syariah al-islamy dan yang penekanannya lebih besar adalah al-fiqh al-islamy, Hasbi Ash-shidieqi mendefinisikan,hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat.

Jika dalam sepanjang sejarah, kata hukum Islam (Islamic Law) diasosiasikan sebagai fiqh, maka dalam perkembangannya, produk pemikiran hukum Islam , tidak lagi didominasi oleh fiqh. Setidaknya masih ada tiga jenis produk lainnya.

Pertama, fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada fiqh atau ijtihad secara umum. Hal ini karena , boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti ,sudah dirumuskan dalam fiqh, hanya belum dipahami si peminta fatwa tersebut adalah bagi orang yang meminta fatwa saja.

Kedua, keputusan pengadilan. Produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-qadla’ atau al-hukm, yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu (al-wilayat al-qada).

Ketiga adalah Undang-undang. Yaitu peraturan yang dibuat suatu badan legislatif (sultah al-tasyri’iyah) yang mengikat kepada setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan,yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-undang sebagai hasil ijtihad kolektif (jama’iy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya, untuk mengubah suatu undang-undang ini, memang tidak setiap negara muslim mempunyainya.

Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa hukum islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan di formulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum – Fiqh, Fatwa, Keputusan pengadilan, dan Undang-undang- yang di pedomani dan di berlakukan bagi ummat islam di Indonesia.

Latar Belakang Keberadaannya

Abdul wahab khalaf merinci sebagai berikut :

- Hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan lainnya. Ayat al-qur’an yang membicarakan masalah ini sekitar 70 ayat.

- Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli,sewa menyewa,utang piutang,dan lain-lain,agar tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat. Ayat al-qur’an mengaturnya dalam 70 ayat.

- Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara kehidupan manusia ,harta,kehormatan,hak serta membatasi hubungan perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30 ayat.

- Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara di lembaga peradilan. Tujuannya ayat al-qur’an mengatur masalah ini dalam 13 ayat.

-Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai atau rakyatnya,hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat,diatur dalam 10 ayat.

-Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah) mengatur hubungan antar negara islam dengan negara lainnya dan hubungan dengan non muslim, baik dalam masa damai atau dalam masa perang. Al-qur’an mengaturnya dalam 25 ayat.

- Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya,dan mengatur sumber keuangan negara dan perindustriannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Diatur dalam al-qur’an sebanyak 10 ayat.

Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya memeliki kedudukannya yang amat penting. Namun sebagian besar, menurut Abdurahman Wahidkini sebagian besar merupakan proyeksi teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat ‘pertahanan’ daripada kemusnahan, Bekas-bekasnya dan pengaruhnya yang masih tampak,lambat laun terjadi proses yang menuntut adanya penilaian ulang agar hukum islam tidak kehilangan elan vitalnya dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat yang terus menerus berkembang munculnya imam-imam mazhab, masih menurut Abdurrahman Wahid, tidaklah dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Islam.

Di Indonesia, hukum Islam pernah dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski didominasi oleh fiqh syafi’I. Hal ini, kata Rahmat djatnika, fiqh syafi’iyah lebih banyak dan dekat dengan kepribadian Indonesia.

Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Di wjo misalnya,hukum waris hukum islam dan hukum adat ,keduannya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum islam. Sosialisasi hukum islam pada zaman Sultan Agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinnya sebagai”Abdul Rahman Khalifatullah sayidina Pantagama”, Demikian juga di Banten Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat dan hukum agama tidak ada bedanya. Juga di sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan di kemukakan teori-teori berlakunya hukum islam di Indonesia.

Teori Receptio in Complexu

Teori ini dimunculkan oleh Van den berg,berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam di terima (diresepsi) secara menyeluruh oleh ummat Islam. Teori Receptie: Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang hukum berlaku bagi orang islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat . jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum islam. 

Teori Receptie Exit Atau Receptie a Contrario 

Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.yaitu hukum islam dapat dilaksanakan ,apabila diterima (diresepsi) hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan hukum islam harus dikeluarkan ,dilawan atau di tolak.

Hukum Islam di Indonesia dan kekuatan Hukumnya

Membicarakan kekuatan hukum dari Hukum Islam di Indonesia perlu Dipahami dari macam produk pemikiran Hukum Islam itu sendiri. Sebagaimana telah penulis kemukakan bahwa setidaknya ada empat produk hukum pemikiran hukum islam yang telah berkembang dan berlaku di indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya. Empat produk pemikiran hukum islam tersebut adalah fiqih,Fatwa ulama, hakim,keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para hakim dan para pihak yang berperkara dengan berlakunya Kompilasi hukum islam di Indonesia, terikat dan berkewajiban untuk sepenuhnya melaksanakan isinya. Dalam konteks tertentu, sebagai hakim dengan kewenangan ijtihad yang dimilikinya, dapat menyempurnakannya melalui keputusan-keputusan yang dikeluarkannya sebagai yurisprudensi hukum.

Hukum islam dalam bentuk fatwa, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia, sifatnya kasuistik. Ia merupakan respons atau jawaban terhadap pertanyaan yang di ajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi hukum fatwa yang diberikan kepadanya.

Berikutnya produk pemikiran hukum islam berupa keputusan Pengadilan Agama. Keputusan Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara. Akan halnya produk pemikiran hukum islam yang berbentuk perundang-undangan, bersifat mengikat dan bahkan daya ikatnya lebih luas. Dinamikianya agak lamban, karena sebagai peraturan organik, kadang tidak cukup elastis untuk mengantisipasi tuntunan waktu dan perubahan. Dengan mengambil contoh Undang-undang perkawinan misalnya, yang didalamnya terdapat muatan-muatan hukum Islamnya, ia mengikat semua warga masyarakat Indonesia.

Kesimpulan

Hukum Islam merupakan istilah Khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam al-qur’an maupun al-sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqih.

Secara garis besar hukum islam terbagi kepada, pertama, fiqh meliputi Ibadat meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat, haji, nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Kemudian oleh Belanda hal ini di bagi-bagi menjadi 3 teori yang meliputi. Pertama: Teori Receptio in Complexu,Kedua: Teori Receptie,Ketiga: Teori Receptie In Exit atau Teori Receptie a Contrario.

Hukum islam di indonesia sendiri mengacu pada empat produk yaitu, Fiqih,Fatwa (Ulama-Hakim),Keputusan Pengadilan, dan Perundang-undangan. Kemudian kekuatan hukumnya ada yang mengikat dan ada juga yang tidak mengikat.

Daftar Pustaka
Al-Qur’annul kariim
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
Khalaf, Abd al-Wahab, Ilm usul al-fiqh. Jakarta: Maktabah al- Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,1410 H/1990M.
Syaltut, Mahmud, al-islam ‘Aqidah Wa Syari’ah, Mesir: Dar al-Qalam, 1996.
Wahid,  Abdurrahman, (et,al), Kontroversi Pemikiran Islam Di indonesia, Bandung: Rosda Karya,1991.
Syarifuddun, Amir, pembaharuan pemikiran Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, Cet 2, 1993.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel