Studi Filsafat Islam (Polemik antara Kalam dan Filsafat)

Studi Filsafat Islam (Polemik antara Kalam dan Filsafat) - Salah satu dari subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan substansi agama? 

Berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan? Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban yang serius dan memuaskan.

Adapun faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:
  1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;
  2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan?) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari “kematian” rasionalisasi agama;
  3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan?;
  4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama;
  5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama;
  6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik.
Pengertian Filsafat Islam

Filsafat terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan Islam. Secara literal filsafat berasal dari kata Philo yang artinya “cinta” dan Sophia artinya “pengetahuan” dan “kebijaksanaan”. Jadi philosophia berarti cinta akan ilmu. Dalam khazanah ilmu, filsafat diartikan sebagai berfikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna.

Berfilsafat adalah berfikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya. Berfilsafat adalah berfikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran. 

Sedangkan Islam secara semantik berasal dari kata salima yang artinya menyerah, tunduk dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah dan dengan kata menyerahkan diri kepada-Nya maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka semua makhluk ciptaan Allah, gunung, samudra, udara, air, cahaya dan bahkan setan pun, pada hakikatnya adalah Islam, dalam arti tunduk dan menyerah kepada Penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku pada dirinya sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam). 

Jadi filsafat Islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan filsafat tentang Islam. Filsafat islam artinya berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Dengan demikian, filsafat Islam berada dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral. Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian. 

Pengertian Ilmu Kalam 

Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin). Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas tentang ke-Esaan Allah SWT. Secara obyektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh karena itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.

Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh Al-Akbar. Menurut persepsinya, hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh Al-Akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh Al-Asghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja. 

Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan, “Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. 

Sumber-Sumber Ilmu Kalam

Sumber-sumber ilmu kalam adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah:
  • Q.S Al-Ikhlas (112): 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sejajar dengan-Nya.
  • Q.S Asy-Syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
  • Q.S AL-Furqon (25): 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy“. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada diantara keduanya.
  • Q.S AL-Fath (48): 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada di atas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh pada janji Allah.
  • Q.S Thaha (20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya. Dan sebagainya
b. Hadis

Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Syaikh Abdul Qodir mengomentari bahwa hadis yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad yang sangat banyak. Diantara sanad yang sampai pada Nabi adalah yang berasal dari beberapa sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin amr bin Ash, Abu, Ummah, Wastilah bin Al-Aqsa.

c. Pemikiran Manusia

Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya dalam Q.S Muhammad (47): ayat 24 yang artinya “maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qor’an ataukah hati mereka terkunci”.

d. Insting

Secara insingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif. 

Hubungan Ilmu Kalam Dan Filsafat

Ilmu kalam dan filsafat mempunyai kemiripan obyek kajian. Obyek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan, sedangkan obyek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusian, dan segala sesuatu yang ada. 

Baik illmu kalam maupun filsafat berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya, atau tentang Tuhan.

Titik Perbedaan

Perbedaan di antara kedua ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika, disamping argumentasi-argumentsi naqliah, berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika atau dikenal dengan istilah dialog keagamaan. 

Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity)

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika, maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan fakta dan data itu sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan kenyataan yang sebenarnya dialam nyata. 

Disamping kebenaran korespondensi, didalam filsafat juga dikenal kebenaran koherensi. Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanent. Jadi kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama’ umum. 

Disamping dua macam kebenaran diatas, didalam filsafat dikenal juga dengan kebenaran pragmatik. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan. 

Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat itu sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial, dan humaniora, sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. 

Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara meyakinkan melaui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya.

Wilayah Kalam dan Filsafat

Kata falsafah adalah bahasa arab yang di pinjam dari kata Yunani yaitu “Philosophia” yang berarti kecintaan kepada ilmu/ kebijasanaan (Wisdom). Kata falsafah diberi sentuhan bahasa Indonesia menjadi filsafat atau filosofi. Dalam ungkapannya arab yang asli, cabang ilmu tradiosional islam di sebut ‘ulum al hikmah atau pendek kata di sebut dengan “al-hikmah” yang artinya kebijaksanaan. Maka “Failasuf” (ambilan kata yunani “Philosophos”, pelaku filsafat) di sebut juga “al-Hakim” (ahli hikmah atau orang yang bijaksana). 

Sumber dan pangkal tolak falsafah dalam islam adalah ajaran islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah. Para Failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religius), sekalipun berbagai titik pandang keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru akan berlawanan dengan yang dipunyai ortodoks (ajaran murni/ fanatik) serta tidak mungkin menilai bahwa falsafah islam adalah carbon copy pemikiran Yunani.

Sepintas, kata filsafat itu menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislamam ini meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama dunia pemikiran Yunani. Inilah pangkal dari adanya kontroversi di sekitar falsafah, dimana batas-batas agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar khususnya jika datang dari kalangan bukan ahli kitab.

Beberapa ulama’ yang fanatik tersebut menunjukkan kemusyrikan orang-orang Yunani tersebut sebagi salah satu alasan keberatan mereka terhadap filsafat. Karena dalam filsafat tersebut, pengertiannya sangat luas dan mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan (disiplin ilmu) dan bukan hanya ilmu pengetahuan saja, yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang berasal dari penalaran deduktif maupun yang penyamaran empiris. Karena falsafat tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa arab muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Interaksi sosial itu memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini sekali sejarah Islam. 

Sedangkan dalam pembahasan teologi, pemakaian istilah teologi terdiri dari Theos yang artinya “tuhan” dan Logos yang artinya “ilmu”. Jadi teologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan yaitu membicarakan Zat Tuhan dari segala seginya dan hubunganya dengan alam. Teologi bisa saja tidak bercorak agama, tetapi merupakan bagian dari filsafat ketuhanan. Dan bisa juga bercorak agama sebagai keterangan kata-kata agama yang bersifat pikiran. Ilmu kalam membicarakan tentang kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan antara tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan ataupun pemikiran murni. 

Dalam alur argumen kalam asy’ari, setiap pembahasan teologi, pusat argumentasi kalam asy’ari berada pada upayanya untuk membuktikan tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dan bahwa jagad raya itu karena diciptakan oleh tuhan dari “ketiadaan”. Karena itulah maka ilmu kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas dalam islam. Yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain manapun, baik dari segi isi maupun metodologinya.

Polemik Antara Kalam dan Teologi

Kaum filsafat menyatakan bahwa keberadaan alam adalah kekal, qodim atau abadi dalam arti tidak ada awalan. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sina dan Al-Farobi yang oleh ahli kalam atau ahli teologi Islam tidak dapat diterima. Sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari yang tiada menjadi ada. Kalau alam dikatakan qodim atau tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghozali, tidak ada umat islam yang menganut bahwa alam ini tidak bermula, alam haruslah bermula. Jadi paham adanya qodim selain dari Tuhan bisa membawa kepada:

Banyaknya yang qodim, banyaknya Tuhan, yaitu paham syirik. Sedangkan syirik adalah dosa besar yang dosanya tidak bisa diampuni oleh Allah.

Paham ateisme alam yang qodim tidak perlu pada pencipta. Jelaslah bahwa kedua paham ini bertentangan dengan ajaran dasar dan mutlak dalam ajaran Islam.

Tentang Islam tuhan, golongan filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali denga cara yang umum. Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti pengtahuan partikular, kepada pembatasan-pembatasan ruang dan waktu. Karena itu tuhan mengetahui sesuatu peristiwa sebelum atau sesudah kejadiannya secara serentak. Karena ia mengetahui secara apriori rangkaian sebab-sebab dari mana ia akhirnya akan berhenti. Menurut para filosof, dengan pemahaman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara umum adalah bahwa ilmu yang juga adalah Zat-Nya bersifat kekal, tetap dan tidak berubah dengan perubahan yang terjadi pada obyek-obyek diluar Tuhan yang dapat merong-rong ke-Esaan-Nya. Ilmu ketuhanan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya selain dengan zat kalau terjadi perubahan dalam tambahan atau sifat tambahan tersebut, zat Tuhan tetap dalam keadaannya. 

Permulaan penggunaan ilmu kalam dan takallum dalam sejarah Arab-Islam, dikaitkan dengan Syahrastani sebagaimana dilakukan Abu Hasan al-Asy’ari sebelumnya, dengan kitabnya yang berjudul “Dhuhur Al-Kilaf“. Setelah mengutip tema-tema pokok yang menimbulkan perbedaan pendapat pada masa Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin, tampaknya perbedaan itu bersifat rasional yang tidak ada pada masa setelahnya dan berakhir pada masa Ali bin Abu Tholib. Perbedaan pendapat setelah wafatnya Nabi Muhammad berkisar pada dua hal; pertama, berkaitan dengan amanah dan yang kedua, berkaitan dengan masalah dasar-dasar agama. Sementara perbedaan pendapat dalam masalah imamah, merupakan perbedaan yang paling besar dikalangan umat islam. Perbedaan ini minimal dua ada kelompok: pertama, yang mengatakan bahwa persoalan imamah merupakan persoalan yang di rujukkan dengan kesepakatan bersama dan bersifat ikhtiari. Pendapat ini di kemukakan oleh ahli sunnah. Dan yang kedua, berpendapat bahwa masalah imamah merupakan masalah yang di tentukan oleh nash dan bersifat penunjukan. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok syi’ah. Berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam masalah dasar-dasar agama, Syahrastani membatasi sejarah perkembangannya pada “akhir masa sahabat”. Dan di kaitkan dengan munculnya bid’ah yang di prakarsai oleh Ma’bad al Juhaini, Ghalian al Dhimasyqi dan Yunus al Aswari dalam masalah Qodar, “Kemampuan manusia untuk mengekspresikan atau menciptakan perbuatan baik atau buruk dan penetapan tanggung jawab dari perbuatannya”, ini sebagai ganti dari penyadaran baik dan buruk pada qodo’ dan qodar setelah meringkas perbedaan pendapat pada Wasil bin Atho’ dan Umar bin Ubaid yang menjadikan sikap I’tizal sebagai mazhab. Kemudian setelah itu tokoh mu’tazilah mempelajari buku-buk filsafat pada masa Al-Makmun. Sementara itu, metode filsafat mengalami percampuran dengan metode ilmu kalam. Kemudian memilah dan memilih ilmu sebagai kalam.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permulaan kalam dan filsafat bertolak pada sejarah perbedaan. Kemunculan ahli kalam waktu itu masih di sebut intelektual, tidak mungkin secara sempurna kecuali terkait dengan munculnya perbedaan. Setelah munculnya jadi jelas definitif, perbincangan ilmu kalam mulai mengambil bentuk metode dan kerangka mazhab. Maka statmen-statmen pemikiran mulai matang dan akhirnya meningkat pada pengetahuan artinya dapat diterima adanya babak dari susunan yang sistematis.

Ada beberapa pendapat ahli untuk menjawab polemik antara kalam dan filsafat Islam, antara lain:

1. Dr. Fuad al-Ahwani

Dalam bukunya filsafat Islam tidak setuju jika filsafat Islam sama dengan ilmu kalam, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  • Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasan bagai ilmu kalam berdasakan pada Allah SWT dan sifat-sifatnya serta hubungannya dengan alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan sebab-sebabnya. Seperti filosof Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah sebagaimana aliran-aliran materialisme.
  • Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut pendapat paling kuat, apakah ia lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qur’an yaitu kalam Allah, apakah yang qodim atau makhluk. Perbedaan pendapat terjadi antara kaum mu’tazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut Asy’ari. Adapun filsafat adalah istilah yunani yang masuk ke dalam bahasa arab sebagai penegasan al-Farobi bahwa filsafat itu berasal dari yunani dan masuk kedalam bahasa arab.
  • Pada abad ke 2 Hijriah, telah lahir filsafat Islam dengan bukti adanya filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi. Disamping itu, dikalangan ilmu ahli kalam ada ahli yang terkenal seperti an-Nazam, al-Juba’I, Abul Huzail. Para ahli ilmu kalam ini ada yang menamakan dirinya sebagai filosof. Dan ada pertentangan tajam diantara kedua belah pihak, sebagaimana al-Ghozali pengikut aliran al-Asy’ariyah yang menulis kitab tahafutul falsafah, namun dalam kalangan ahli filsafat, ibn Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis tafutul al-tahafut
2. Prof. Tara Cana

Dia mengatakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk arti dari ilmu kalam. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat itu telah lahir dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan pada dasarnya mementingkan pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya ataupun untuk membangun pemikiran-pemikiran teologi keagamaan.

3. Prof. Fuad al-Ahwani

Ia mengatakan bahwa sekolah pada abad ke 6 Hijriah, filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini telah menelan filsafat sedemikian rupa dan masukannya di dalam kitab-kitabnya. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam di dahului dengan pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosofinya.

Titik Temu Antara Ilmu Kalam dan Filsafat Islam

Dari uraian diatas kita dapat mengetahui secara garis besar bahwa filsafat Islam bertujuan untuk mempertemukan antara filsafat dan agama. Hal ini dapat kita lihat pada setiap langkahnya, akan tetapi timbul pertanyaan bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sebagai bahasa langit, sebagai santapan hati, dan sebagai sumber perintah-perintah dan larangan-larangan, bisa bertemu dengan filsafat sebagai ciptaan manusia dan sebagai bahasa bumi yang masih bisa dibahas dan di persoalkan? Bagaimana kebenaran yang di dasarkan oleh ilham dan wahyu bisa di persatukan dengan kebenaran filsafat yang didasarkan dengan alasan fikiran? Bagaimana dengan dalil sam’i bisa di gabungkan dengan dalil aqli?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, bisa dijawab dengan tidak lebih dari tiga jawaban, yaitu: pertama, memegang teguh agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendirian orang beragama dan tidak berfilsafat. Yang kedua, kebalikan dari yang pertama, yaitu memegang teguh filsafat dan menolak agama. Dan inilah pendirian orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan aqidah-aqidah agama. Dan yang ketiga, mengusahakan pemaduan antara filsafat dan agama dengan menggunakan cara tertentu, dan cara inilah yang di tempuh oleh seorang filosof yang mu’min atau seorang filosof yang seharusnya memperhatikan aqidah-aqidah agama.

Bagi orang yang memahami semangat Islam yang mengajarkan pengambilan jalan tengah dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman, maka ia akan mengetahui bahwa semangat pemaduan adalah merupakan salah satu aliran-liran yang berbeda dan berlawanan, tentu timbul aliran penengahnya. Seperti yang dibuktikan oleh sejarah.

Aliran asy’ariah dalam ilmu kalam yang bisa dikatakan yang bisa menguasai dunia Islam sampai sekarang ini tidak lain adalah aliran tengah-tengah filsafat yang memegangi bunyi nash tanpa mengemukakan penafsiran rasional dengan aliran mu’tazilah yang membebaskan sepenuhnya dalam memahami nash-nash dan penafsirannya.

Dalam lapangan hukum Islam kita mendapati mazhab syafi’i yang menjadi mazhab penengah antar mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang mendasarkan pada pikiran dan ijtihad. Kalau demikian corak pemikiran kaum muslimin pada berbagai bidang pemikiran-pemikiran pada umumnya, maka terlebih lagi filosof-filosof Islam berusaha untuk mempertemukan agama dengan filsafat yang di percayai kebenarannya dan didasarkan dengan ketentuan-ketentuan dalil pikiran yang sama rata.

Selain karena corak pemikiran tersebut, ada beberapa faktor yang mendorong kearah pemaduan tersebut, yaitu: pertama, adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baharu dan qodimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan keabadian jiwa, dan balasan badaniah atau ruhaniah di akhirat. Kedua, adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh orang-orang agama terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan aqidah agama yang telah di tetapkan sebelumnya. Sikap ini sering di ikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli pikir bebas. Dan yang ketiga, hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak perlawanannya dengan agama.

Kesimpulan

Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tatangan zaman, yang meliputi Allah, alam semesta, wahyu dan akal serta agama. Sedangkan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas firman-firman Allah sebagai sumber pokok beragama.
  
Namun demikian, dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman antara lain keduanya dapat di bedakan. Filsafat Islam mengandalikan akal dalam mengkaji obyeknya yaitu: Allah, alam dan manusia tanpa terikat dengan pendapat yang ada. Pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relatif. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dari aqidah yang tertera dalam wahyu yang mutlaq kebenarannya untuk mengkaji obyeknya, Allah dan sifat-sifat serta hubungan Allah dengan alam dan manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash agama.

Polemik antara kalam dan filsafat Islam pada intinya terletak pada dasar cara pandang mereka diantaranya ilmu kalam. Dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasan bagi ilmu kalam berdasarkan pada Allah dan sifat-sifatnya serta hubungannya dengan alam dan manusia yang berada di bawah syari’atnya. Obyek filsafat dalam alam dan manusia serta pemikiran Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. tetapi ada juga yang menginginkan mengingkari adanya wujud Allah sebagai aliran-aliran materialisme.

Daftar Pustaka
  • Prof. Dr. Musa Asy’arie, 2002, Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berfikir, LESFI, Yogyakarta.
  • Dr. M. Amin Abdullah, 1995, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
  • Olver Leaman, 1989, Pengantar Filsafat Islam, Rajawali Pers, Jakarta.
  • Dr. Abdul Razak, M. Ag & Drs. Rosihan Anwar, M. Ag, 2003, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung.
  • Hasyimsyah Nasution, 1999, Filsafat Islam, Gaya Media Utama, Jakarta.
  • Drs. H. mustofa, 1999, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung.
  • Abdul Hakim Atang dan Mubarok Jaih, 2002, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung.
  • Nata Abuddin, 1993, Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel