Mediasi dalam Hukum Adat
Selasa, 14 Januari 2014
A. Filosofi
penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat
Hukum
adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan
sengketa. Hukum memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan
system hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga
keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat
tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah,dan norma yang disepakati dan
diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat.
Hukum
adat Indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Hukum
adat bersandar pada alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam
pikiran yang menguasai system hukum barat atau system hokum lainnya. Soedarsono
menyebutkan bahwa tata hokum adat Indonesia berbeda dengan tata hokum lainnya
yang ada di Indonesia seperti tata hokum romawi yang dibawa colonial Belanda ke
Indonesia (Barat), tata hokum Hindu India , dan tata hokum islam, dan berbagai
tata hokum lainnya.
Penyelesaian
sengketa dalam masyarakat hokum adat didasarkan pada pandangan hidup yang
dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup atau lebensaacbuung,
adalah suatu pandangan objektif dari orang-orang yang ada di dalam masyarakat
mengenai apa dan bagaimana dunia dan hidup itu. Koesnoe, menyebutkan bahwa
pandangan hidup masyarakat adat tertumpu pada filsafat eksistensi manusia.
Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari nilai,pola pikir,dan norma
telah melahirkan ciri masyarakat hokum adat. Imam sudiyat, menyebutkan
masyarakat hokum adat memiliki ciri religious, komunal, demokrasi, mementingkan
nilai moral spiritual, dan bersahaja/sederhana.
Tradisi
penyelesaian sengketa dalam masyarakat hokum adat cenderung menggunakan ‘pola
adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’. Pola ini
diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana. Penyelesaian
sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau hukuman apa
pun terhadap pelanggar hokum adat.
B. Ruang
lingkup mediasi dalam hokum adat
Masyarakat
hokum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah,
yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah
merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hokum adat dalam menyelesaikan
sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam
system hokum adat, tidak dikenal pembagian hokum kepada hokum public dan hokum
privat. Akibatnya, masyarakat hokum adat tidak mengenal kategorisasi hokum
pidana dan hokum perdata, sebagaimana dalam system hokum Eropa Kontinental.
Istilah “sengketa” bagi masyarakat hokum adat bukan hanya ditujukan untuk kasus
perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan, tetapi sengketa juga
digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam masyarakat hokum
adat, tidak hanya terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat juga
digunakan untuk menyelesaikan kasus public. Penggunaan mediasi, arbitrase,
negosiasi dan fasilitasi jauh lebih luas dalam hokum adat, bila dibandingkan
dengan hokum positif di Indonesia.
C. Pola
mediasi dalam hokum adat : Model Aceh
Masyarakat
Aceh memiliki pola tersendiri dalam penyelesaian konflik (sengketa), baik
konflik vertical maupun horizontal. Pola penyelesaian konflik dalam masyarakat
Aceh dikenal dengan pola penyelesaian adat gampong. Pola ini sebenarnya
berasal dari syariat islam yang bersumber pada ajaran Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pegangan suci umat islam ini, mengajarkan model dan cara penyelesaiaan konflik,
baik dalam rumah tangga, antar individu di luar rumah tangga, antar masyarakat,
bahkan antar Negara.
Cara dan
pola penyelesaian konflik yang berasal dari syariat islam diterjemahkan oleh
masyarakat Aceh dalam bingkai adat, sehingga tampak adanya pergeseran secara
tekstual antara yang tertulis dalam doktrin syariah, dengan apa yang
dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kenyataan ini bukanlah sesuatu
yang bertentangan dengan syariat, akan tetapi meweujudkan makna syariat melalui
perangkat dan institusi adat dan budaya.
Pola
penyelesaiaan konflik yang dipraktikkan turun temurun oleh masyarakat Aceh
terdiri dari pola di’iet, sayam, suloh, dan peumat jaroe.
Pola-pola ini sudah dikenal sejak awal, terutama ketika Islam menginjak kakinya
ke Nusantara, dan bahkan institusi sayam, jauh lebih dahulu dikenal
dalam masyarakat aceh bila dibandingkan dengan institusi di’iet dan
suloh.
Asal usul
di’iet, suloh dan peumat jaroe berasal dari tradisi dan ajaran
Islam, sehingga pola ini langsung dikenal oleh masyarakat Aceh ketika Islam
disebarkan pertama kali ke Nusantara. Institusi sayam berasal dari
tradisi Hindu, sehingga sebelum Islam datang pola ini telah dikenal dan
dipraktikkan oleh masyarakat Aceh. Ajaran dan tradisi Hindu tentang sayam,
sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu, namun sudah disaring (filter) oleh
syariat islam. Oleh karenanya, praktik sayam sebagai model penyelesaiaan
konflik dalam masyarakat Aceh, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan
syariat islam.
- Di’iet
Kata di’iet
berasal dari istilah Arab, yaitu diyat. Secara bahasa, kata diyat
bermakna pengganti jiwa atau pengganti anggota tubuh yang hilang atu rusak.
Pengganti ini merupakan harta, baik bergerak maupun tidak bergerak. Diyat
merupakan konsep yang terdapat dalam hokum pidana Islam. Para sarjana hokum
Islam memahami diyat sebagai bentuk kompensasi atau ganti rugi yang diserahkan
oleh pelaku pidana atau keluarganya, kepada korban atau keluarga korban (ahli
warisnya) dalam tidak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota
tubuh.
- Sayam
Sayam adalah salah satu pola
penyelesaian konflik yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pola ini
telah lama dipraktikkan dan bahkan jauh lebih lama dari pola di’iet dan
suloh. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan
oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan
dengan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebagian daerah di
Aceh memperlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya darah
seseorang akibat penganiayaan.
- Suloh
Kata suloh
dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab, yaitu al-shulhu atau ishlah,
yang berarti upaya perdamaian. Suloh adalah upaya perdamaian antar para
pihak yang bersengketa. Dalam tradisi penyelesaian konflik, masyarakat aceh
menggunakan suloh sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan social,
akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh lebih diarahkan pada upaya
perdamaian diluar kasus-kasus pidana. Ia ditujukan untuk menyelesaikan kasus
perdata dan kasus-kasus yang tidak melukai anggota tubuh manusia.
- Peumat jaroe
Bentuk
aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloh
adalah peusijuek dan peumat jaroe (saling berjabat tangan). Kedua
institusi ini dianggap memegang peran penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah)
antara para pihak yang bersengketa. Masyarakat Aceh menganggap belum
sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada prosesi peusijuek dan
peumat jaroe. Prosesi peusijuek sudah dijelaskan sebelumnya yang
digunakan untuk semua perkara baik perdata atau pidana. Peusijuek juga
dilaksanakan bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga menyatakan
rasa syukurpun biasanya diwujudkan dengan peusijuek dalam masyarakat
Aceh.
Setelah
acara peusijuek selesai, maka dilanjutkan dengan peumat jaroe
antara pihak yang bersengketa. Kegiatan ini dilakukan (difasilitasi), oleh keuchik,
teungku imuem, dan tetua adat. Peumat jaroe merupakan symbol
perbaikan hubungan antara para pihak yang bersengketa, dengan harapan konflik
antar mereka dapat segera berakhir.
D. Proses mediasi dalam hokum
adat
Proses
mediasi yang digunakan masyarakat hokum adat pada prinsipnya tidak jauh berbeda
dengan proses mediasi yang dikembangkan pada era modern. Secara garis besar
proses mediasi dalam hokum adat dapat dikemukakan seperti dibawah ini.
Pertama, para pihak yang
bersengketa dapat meminta bantuan kepada pihak ketiga (mediator) untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Mediator yang dipercayakan oleh para pihak,
umumnya adalah tokoh adat atau tokoh ulama.
Kedua, para pihak yang
memberikan kepercayaan kepada tokoh adat sebagai mediator didasarkan pada
kepercayaan bahwa mereka adalah orang yang memiliki wibawa, dihormati,
disegani, dipatuhi perkataannya dan mereka adalah orang-orang yang mampu
menutup rapat-rapat rahasia di balik persengketaan yang terjadi di antara para
pihak.
Ketiga, tokoh adat yang mendapat
kepercayaan sebagai mediator melakukan pendekatan-pendekatan yang menggunakan
bahasa agama dan bahasa adat, agar para pihak yang bersengketa dapat duduk
bersama, menceritakan latar belakang, penyebab sengketa, dan
kemungkinan-kemungkinan mencari jalan keluar untuk mengakhiri sengketa.
Keempat, tokoh adat sebagai
mediator dapat melakukan sejumlah pertemuan termasuk pertemuan terpisah jika
dianggap perlu, atau melibatkan tokoh adat yang lain yang independen setelah
mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk membantu
mempercepat proses mediasi, sehingga kesepakatan-kesepakatan dapat cepat
tercapai.
Kelima, bila para pihak sudah
mengarah untuk menawarkan alternative penyelesaian, maka mediator dapat
memperkuat dengan menggunankan bahasa agama dan bahasa adat, agar kesepakatan
damai dapat terwujud. Bila kedua belah pihak bersepakatan untuk berdamai dengan
sejumlah tuntutan masing-masing yang mungkin dipenuhi,maka mediator dapat
mengusulkan untuk menyusun pernyataan damai di depan para tokoh adat dan
kerabat dari kedua belah pihak.
Keenam, bila kesediaan ini sudah
dikemukakan kepada mediator, maka tokoh adat tersebut dapat mengadakan prosesi
adat, sebagai bentuk akhir dari pernyataan mengakhiri sengketa dengan mediasi
melalui jalur adat. Dengan demikian, maka berakhirlah proses mediasi dalam
masyarakat hokum adat.
E. Pelaksanaan
hasil mediasi dan sanksi adat
Pelaksanaan
hasil mediasi dalam praktik masyarakat adat, bukan hanya semata-mata menjadi
tanggung jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga terlibat para tokoh
adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga besar para
pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan realisasi
kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui oleh
masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil
mediasi. Oleh karena itu, control masyarakat menjadi amat penting dalam
pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini dapat mengingatkan kembali bahwa masyarakat
dapat melakukan intervensi, jika hasil mediasi tidak dilaksanakan dengan baik.
Dalam
masyarakat hokum adat, jika kesepakatan damai para pihak sudah diikrarkan
dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka
kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak
mengingkari atau tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut
akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hokum adat. Sanksi ini sangat
tergantung pada sejauh mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan juga
tergantung pada dampak yang ditimbulkan oleh pengingkaran tersebut kepada
nilai-nilai social dalam masyarakat hokum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang
diberikan kepada pihak yang tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi dapat
berupa pengucilan dari kegiatan social, dan bahkan sampai kepada pengusiran
dari komunitas hokum adat. Penjatuhan sanksi kepada para pihak tidak dilakukan
secara serta-merta, tetapi dilakukan setelah proses negosiasi guna merealisasikan
hasil mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat.
DAFTAR PUSTAKA
- R.H. Soedarsono, Studi Hukum Adat, (Yogyakarta: FH UII, 1998)
- Hilman Hadikusuma, Pengantar ilmu hokum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju1992)
- Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta; Pradnya Paramita,1995)
- Syahrizal, dkk,Pola Penyelesaian Konflik dalam Tradisi Masyarakat Gampoeng di Aceh, (Banda Aceh: Satker Kebudayaan BRR NAD-NIAS,2007)
- Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri’ al- Jina’ al- Islami, ( Beirut; Dar al-Fikr,1986)