Sejarah Perkembangan Tasawuf

Abad Pertama Dan Kedua Hijriyah
 
Sejarah Perkembangan Tasawuf - Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase zuhud (asketisme), sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal kemunculan tasawuf, Pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa lalu. Mereka mengamalkan konsep zuhud dalam kehidupan yaitu tidak terlalu mementingkan makanan enak, pakaian mewah, harta benda melimpah, rumah megah, tahta, pangkat, jabatan dan wanita cantik, tetapi mereka lebih mementingkan beramal ibadah untuk kepentingan akhirat dengan rajin mendekatkankan diri kepada Allah, diantara 'ulama sufi salafi yang terkenal di masa itu adalah Hasan Al-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabi'atul Adawiyah (wafat 185 H, kedua sufi ini dijuluki sebagai zahid (orang yang sangat sederhana). Selain itu ialah Malik Bin Dinar (wafat 131 H), Jaf’ar Al-Sadiq (wafat 148 H), Sofyan Al-Thauri (wafat 161 H), Ibrahim Bin Ad-ham (wafat 165 H).

Abad Ketiga Hijriyah

Dengan datangnya abad ketiga Hijriyah ini, para sufi mulai menaruh perhatiannya terhadap hal-hal yang berkenaan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan faham dan akhlak sufi ditandai dengan upaya menegakkan akhlaq di tengah terjadinya dekadensi moral yang sedang berkembang di masa itu, sehingga di tangan para sufi tasawuf pun berkembang menjadi ilmu akhlak. Pemberian contoh dalam kehidupan sehari-hari para sufi, akhirnya dapat mendorong kemajuan perubahan pada pola tingkah masyarakat dari yang lebih cenderung mengejar keduniaan yang membuat masyarakat di masa itu lupa pada Allah berubah menjadi masyarakat berakhlaqul karimah.
 
Ajaran akhlak para sufi ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaan para sufi dapat dilihat dari kesederhanaan alur pemikiran. Tasawuf pada jalur kesederhaan ini banyak ditampilkan oleh ulama sufi salafi di masa itu. Perhatian para sufi di masa itu lebih tertuju kepada realitas pengalaman ke-Islaman yang dipraktekkan dalam kehidupan serhari-hari yang disebut dengan akhlaqul karimah. Mereka menampilkan ajaran tasawuf lewat akhlak terpuji dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai mengandung banyak anjuran untuk beraklak mulia. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pangamalan ajaran Isdlam sampai pada aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika para sufi menyaksikan ketidak beresan akhlaq di sekitarnya, mereka menemkan kembali akhlaq mulia, pada masa ini tasawuf lebih identik dengan akhlaq.
 
Pada abad ketiga ini terlihat perkembangan tasawuf sangat pesat, ditandai dengan adanya segolongan sufi yang mendalami inti ajaran tasawuf, sehingga didapati ada 3 inti ajaran tasawuf yaitu:

a)Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu ajaran tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa. Ajaran ini mengkonsentrasikan kejiwaan manusia kepada Allah, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan sebaik-baiknya. Inti ajaran tasawuf yang satu ini menjadi dasar teori para psikiater zaman sekarang ini dalam mengobati pasiennya.

b)Tasawuf yang berintikan ilmu akhlaq, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk tentang cara berbuat baik dan cara menghindari keburukan. Ajaran ini lengkap dengan riwayat dari kasus-kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi. Dari ajaran inilah munculnya ilmu akhlaq.

c)Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu ajaran tasawuf yang berintikan hakikat Tuhan. Dari ajaran inilah munculnya ilmu tauhid, ilmu aqidah, ilmu qalam dan ilmu filsafat.

Tokoh-tokoh yang terkenal pada abad ini antara lain Dhu Al-Nun Al-Misri  (wafat 240H), Abu Yazid Al-Bistami (wafat 261 H), Al-Junayd Al-Baghdadi (wafat 279 H), Al-Hallaj (wafat 309 H).

Perkembangan Tasawuf Abad Keempat Hijriyah 
Abad keempat hijriyah ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dari sebelumnya, karena upaya maksimal dari 'ulama tasawuf dalam pengembangan dakwahnya masing-masing, sehingga kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf terbesar sebelumnya tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.

Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad dipelopori oleh beberapa 'ulama tasawuf yang terkenal kesufiannya, yaitu:

a) Musa Al-Anshory: Mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia atau Iran), wafat di Khurasan pada tahun 320 H.

b) Abu Hamid Bin Muhammad Ar-Rubazy: Mengajarkan ilmu tasawuf di Mesir dan wafat di Mesir pada tahun 322 H.

c) Abu Zaid Al-Adamy: Mengajarkan ilmu tasawuf di Saudi Arabiyah dan wafat di sana pada tahun 314 H.

d) Abu Ali Muhammad Bin Abdul Wahab As-Saqafy: Mengajarkannya di Naisabur dan kota Syaraz hingga ia wafat di tahun 328 H.
 
Di abad keempat ini pula para sufi membagi inti ilmu menjadi 4 tingkatan atau 4 tahapan, yaitu:

a)  Ilmu Syari'at.[1]

b)  Ilmu Tariqat.[2]

c)   Ilmu Hakikat.

d)   Ilmu Ma'rifat.[3]

Tokoh-tokoh sufi yang berpengaruh di abad ini antara lain: Abu Nasr Al-sarraj Al-Tusi (wafat 378 H), Al-Kalabadhi (wafat 380 H), Abu Thalib Al-Makki (wafat 386 H), serta Al-Sulami (wafat 412 H).

Perkembangan Tasawuf Abad Kelima Hijriyah
 
Pertentangan yang tajam antara ahli syari’at dengan ahli tasawuf di satu sisi, lalu pertentangan antara Sufi Sunni dengan Sufi Falsafi di sisi lain, sangat merugikan umat Islam itu sendiri, karena saling memfitnah antara mereka. Tasawuf dan syari’at mestinya harus sambung-menyambung sebagai suatu ajaran Islam yang utuh. Artinya syari’at merupakan ajaran dasar bagi tasawuf, sedangkan tasawuf kelanjutan dan pendalaman ajaran syari’at.

Ulama Syari’at dianggap hanya terjebak formalisme ajaran agama yang tidak pernah menemukan makna hakiki dari ibadahnya, sementara Ulama Sufi mengklaim dirinya sebagai hamba yang selalu mendapatkan makna hakiki dari ibadahnya. Ulama Syari’at menuduh Sufi sudah menyeleweng dari prinsip dasar aqidah Islam.
 
Seorang peserta Tasawuf diwajibkan lebih dahulu menjalankan kewajiban Aqidah, Fiqh, dan Akhlak, baru dapat mengamalkan ajaran Tasawuf. Penyatuan kembali antara syari’at dengan tasawuf menjadi ciri khas pada abad ini.

            Para Sufi di abad V H, antara lain; Al-Qushairi (wafat 465 H), Abu Na’im Al-Asbahani (wafat 430 H), Al-Hujwiri (wafat 456 H), Al-Harawi (wafat 481 H), serta Al-Ghazali (wafat 505 H).

Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
 
Kondisi yang terjadi pada abad kelima hijriyah belum terselesaikan, karena upaya Sufi Filsafah untuk menyebarkan ajarannya sangat kuat. Maka pertentangan sufi juga semakin Nampak, karena perbedaan metode pengalaman ajaran diantara mereka. Masing-masing kelompok peserta tasawuf mengorganisir diri atas bimbingan gurunya, lalu disebut Tarekat. Sedangkan gurunya disebut Syekh atau Mursid, dan ada juga yang menyebut dengan sebutan Muhdi (pembimbing spiritual). Masing-masing perkumpulan tasawuf memberi nama perkumpulannya sesuai dengan nama atau kelahiran gurunya. Pendirian tarekat menjadi ciri khas pada abad keenam dan ketujuh Hijriyah.
 
Ada bebarapa sufi yang merangkap sebagai pendiri Tarekat yang berpengaruh pada abad VI H, antara lain:
  • Abdu Al-Qadir Al-Jaylani (wafat 561 H), mewariskan Tarekat Qadiriyyah.
  • Ahmad Rifa’i(wafat 578 H), mendirikan Tarekat Rifa’iyyah.
  • Al-Suhrawardi Al-Maqtul (wafat 587 H), melahirkan ilmu filsafat, yang disebut Tasawuf Ishraq (Tasawuf pencerah hati)
Ada beberapa sufi yang juga berpengaruh pada abad ke VII H, baik Sufi arekat maupun non-Tarekat, antara lain:
  • Muhyi Al-Din Ibnu ‘Arabi (wafat 630 H), mengembangkan teori wahdatul wujud.
  • Farid Al-Din Al-Atar (wafat 607 H), mengembangkan teori mujahadah,[4] riyadah[4], serta mahabbah.[5]
  • Umar bin Farid (wafat 632 H), menulis beberapa kitab yang berisi syair yang menggambarkan Tasawuf.
  • Jalal Al-Din Al-Rumi (wafat 658 H), mengembangkan teori wahdatul wujud.

Abad Kedelapan Hijriyah
 
Pada abad ini tasawuf mengalami kemunduran yang disebabkan oleh konflik internal Ahli Tasawuf sendiri. Selain itu seluruh dunia Islam bagian Timur dan Tengah sudah dikuasai bangsa Tartar dari Mongol, sedangkan wilayah Barat telah dikuasai oleh Nasrani dari Eropa. Namun hal ini tidak menurunkan semangat para Ahli Tasawuf untuk mengembangkan Tasawuf. Terbukti dengan masih adanya beberapa Ahli Tasawuf yang melakukan kegiatan Tarekat dan menulis beberapa kitab. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada abad VIII H, antara lain:
  • Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), mengembangkan mahzab Hanbali dan menolak taklid, kurafat, maupun bid’ah.
  • Ibnu ‘Ataillah Al-Sakandari (wafat 709 H), pengikut Tarekat Shaziliyyah.
  • Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyyah (wafat 751 H), mewarisi ajaran dari Ibnu Taymiyyah.
  • Bahau Al-Din Al-Naqshabandi (wafat 791 H), mengamalkan Tarekat Naqshabandiyyah.
  • Abdu Al-Karim Al-Jilli (wafat 820 H), pengikut ajaran wahdatul wujud.

Footnote:
1. [QS. Al-Maidah (5): 48]
2. Jalan atau petunjuk jalan atau cara.
3. Pengenalan seorang Hamba terhadap Tuhannya.
4. Latihan penyempurnaan diri secara terus menerus yang datangnya dari Allah SWT ditujukan pada hamba-Nya.
5. Mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel