Dilematik Sistem Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah (Antara Revenue Sharing dan Profit Sharing)

Dilematik Sistem Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah - Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang. Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.

Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.

Salah satu ciri atau karakteristik dari perbankan syariah ialah mekanisme bagi hasil, di mana dengan bagi hasil ini menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat bisnis, khususnya masyarakat perbankan untuk terhindar dari bunga atau riba. Hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 275, dimana Allah SWT mengharamkan segala bentuk transaksi yang mengandung unsur-unsur ribawi, karena unsur tersebut tidak mendatangkan kemashlahatan bahkan hanya bisa mendatangkan keburukan, sehingga sedini mungkin harus dihindarkan.[1]

Mekanisme bagi hasil yang diterapkan di perbankkan syariah merupakan konsep dasar yang membedakannya dengan bank-bank konvensional yang menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi agar dapat menarik minat masyarakat menabungkan uangnya di bank.

Mekanisme bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

Dalam dunia perbankan syariah sering didengar istilah profit sharing atau revenue sharing. Dalam perbankan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku pada produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh, sebagian ataupun dalam bentuk koorporasi lainnya. Dan prinsip bagi hasil ini akan berfungsi sebagai mitra bagi penabung, demikian juga pengusaha peminjam dana. Jadi prinsip bagi hasil ini merupakan landasan utama beroperasinya perbankan syariah.

Faktor dana merupakan sebuah kebutuhan pokok beroperasinya sebuah perbankan (lembaga keuangan). Dalam perbankan yang mendasarkan pada bagi hasil dalam operasionalisasinya, maka untuk memperoleh hasil (laba) adalah dengan melakukan pembiayaan-pembiayaan dengan prinsip bagi hasil antara investor dengan pengelola dana/debitur, dimana diantara keduanya menyepakati bagiannya masing-masing dari hasil yang diperolehnya.[2]

Mekanisme bagi hasil didasarkan kepada dua sistem, yaitu profit sharing dan revenue sharing. Profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[3] Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sedangkan revenue sharing berarti proses bagi pendapatan yang dilakukan sebelum memperhitungkan biaya-biaya operasional yang ditanggung oleh bank, biasanya pendapatan yang didistribusikan hanyalah pendapatan atas investasi dana, dana tidak termasuk fee atau komisi atau jasa-jasa yang diberikan oleh bank karena pendapatan tersebut pertama harus dialokasikan untuk mendukung biaya operasional bank. Maksudnya pembagian dana terhadap nasabah atas pendapatan-pendapatan yang diperoleh oleh bank tanpa menunggu pengurangan-pengurangan atas pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank dalam pengelolaan dana yang diamanatkan oleh nasabah, disatu sisi pelaksanaan revenue sharing ini bertentangan dengan prinsip bagi hasil itu sendiri, karena dalam prinsip bagi hasil tentunya investor bertanggung jawab atas dana yang diamanatkannya, artinya ia juga memiliki andil dalam pengelolaan dananya, bahkan jika terjadi kerugian dalam usaha maka shohibul mall ikut menanggung kerugiannya.

Dalam revenue sharing, proses distribusi pendapatan ini dilakukan sebelum memperhitungkan biaya operasionalisasinya yang ditanggung oleh bank. Biasanya pendapatan yang didistribusikan hanyalah pendapatan atas investasi dana dan tidak termasuk fee atau jasa-jasa yang diberikan oleh bank.

Dalam mekanisme ini, berarti mengandung unsur peralihan mekanisme bagi hasil dari profit and loss sharing menjadi revenue sharing, perubahan dari penanggunan risiko menjadi tidak menanggung risiko, walaupun di dalam mekanisme ini tidak diketahui berapa besar jumlah keuntungan yang akan diperoleh, berbeda dengan bunga yang telah jelas berapa prosentase keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya dana yang diinvestasikan.[4]

Pada tataran ideal, mekanisme bagi hasil yang digunakan seharusnya adalah mekanisme bagi hasil yang berdasarkan profit and loss sharing, yang di dalamnya akan sangat menyentuh seluruh aspek baik positif maupun normatif sebuah aktivitas perekonomian yang Islami (Ekonomi Islam). Namun, permasalahan klise yang menghadang penerapan ini selalu saja muncul, yaitu kurangnya sosialisasi terhadap pemahaman menyeluruh mengenai sistem perbankan Islam pada khususnya. Maka dari itu, pada awal-awal masa penerapan mekanisme perbankan Islam, pendekatan bagi hasil yang digunakan adalah pendekatan profit sharing, dengan pertimbangan pendekatan ini lebih familiar dan digunakan demi kemaslahatan bersama, baik pihak bank maupun nasabah pada khususnya.

Namun, kemudian disadari bahwa pendekatan ini memiliki kelemahan yang cukup merugikan, terutama bagi pihak perbankan. Mengapa demikian? Pertama, Bank Islam belum dapat bersaing dengan bank konvensional jika menggunakan pendekatan bagi hasil ini. Dengan pendekatan profit sharing, bank tidak dapat terus menjaga konsistensinya untuk memperoleh pendapatan dengan jumlah yang diharapkan, malahan rentan akan penanggungan kerugian akibat kerugian nasabah. Kedua, dengan pendekatan ini, memungkinkan terjadinya tindakan zalim dari nasabah terhadap pihak perbankan. Dengan bagian bagi hasil yang diasumsikan TR (Total Revenue) lebih besar dari pada TC (Total Cost), maka membuka peluang bagi nasabah untuk mengestimasikan biaya-biaya fiktif untuk kemudian digelapkan sebelum pendapatannya dibagi hasilkan dengan pihak bank.

Oleh karena itu, sebagai alternatif yang digunakan, MUI melalui Fatwanya memperbolehkan bank Islam mempergunakan pendekatan revenue sharing dalam bagi hasil. Sebagai salah satu pertimbangannya, diharapkan dengan pendekatan ini pihak bank Islam dapat bersaing dengan bank Konvensional, dalam hal ini kerugian yang diterima pihak bank Islam dengan pendekatan profit sharing dapat dieliminir.

Namun, ternyata sistem ini juga tidak akomodatif. Dengan pendekatan ini, pihak nasabah (sebagai pengelola usaha) akan dirugikan, karena meski nasabah mengalami kerugian dalam usahanya, mereka tetap harus membayar bagi hasil melalui pendapatannya sendiri. Jika nasabah telah merasa pihak bank Islam bertindak zalim dengan menerapkan ketentuan tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kepercayaan nasabah terhadap bank Islam akan berkurang. Jangankan hendak mensosialisasikan Ekonomi Islam, jika kepercayaan nasabah telah luntur, maka asumsi yang akan muncul adalah bank Islam sama saja dengan bank konvensional.

Salah satu poin penting dari pendekatan revenue sharing ini adalah jika dibandingkan dengan profit sharing, maka pendekatan ini lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak, mengurangi kemudharatan yang lebih buruk dengan kemudharatan yang lebih kecil. Meskipun terkesan zalim terhadap nasabah, namun untuk menghindari resiko penyelewengan dana oleh nasabah melalui pendekatan profit sharing, dengan bagi hasil melalui pendapatan.

Sebagai solusi yang diharapkan mampu meredakan kondisi dilematis antara penerepan profit sharing ataupun revenue sharing adalah penerapan bagi hasil dengan pendekatan profit and loss sharing. Dengan pendekatan ini diharapkan baik pihak nasabah maupun bank Islam sendiri tidak lagi terzalimi, bank Islam akan tetap mampu bersaing dengan bank konvensional dan tidak memungkinkan lagi terjadinya penyelewengan dana oleh pihak nasabah. Besar harapan berbagai pihak bahwa sosialisasi Ekonomi Islam dapat terjadi secara maksimal sehingga alternatif ekonomi yang lebih transenden sekaligus membumi dapat diterapkan dengan baik.

Baca Juga:
Prilaku Konsumen dalam Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Resume)

Referensi:
[1] Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si. 2008. Fiqh Muamalah:Membahas Ekonomi Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). hlm. 138.
[2] Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syariah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003.
[3] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI,  Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 264.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21. hlm. 19-20.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel